Oleh: Yudhistira Abdi Atmanegara
Mahasiswa FMIPA Unlam Banjarbaru
Mahasiswa FMIPA Unlam Banjarbaru
(Artikel 2007 silam, yang diterbitkan di Banjarmasin Post)
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya sumber daya hayati dan
menempati urutan kedua di dunia setelah Brazil. Jika ditambah dengan
keanekaragaman hayati lautnya, Indonesia menjadi nomor satu di dunia.
Maka, sangat ironis ketika bangsa ini terus mengalami keterpurukan di
segala bidang kehidupan.
Cadangan energi fosil di Indonesia semakin berkurang, sedangkan
kebutuhannya terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan industri.
Sementara itu kita ketahui, minyak bumi merupakan hasil dari proses
evolusi alam yang berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun lalu dan
merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Tidak salah jika
banyak ahli memperkirakan, pada 10 tahun mendatang kita yang dikenal
sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) berubah menjadi
negara pengimpor.
Untuk mengatasi hal itu, keberadaan bahan bakar alternatif (BBA)
sangat diharapkan. Salah satu BBA yang aman terhadap lingkungan adalah
yang berasal tumbuhan/hewan, lebih dikenal dengan istilah biodiesel.
Produksi biodiesel dapat dilakukan melalui reaksi transesterifikasi
minyak atau asam lemak dengan alkohol (metanol/etanol) dan beberapa
katalis.
Biodiesel di Indonesia sekarang memang masih sebagai campuran pada
solar, yaitu sebesar 5 % – 30 % (B5 dan B30). Tetapi ini sudah dapat
menghemat penggunaan solar di Indonesia. Bayangkan saja apabila setiap
tahun negara mengonsumsi 25 juta kiloliter solar, maka dengan adanya
biodiesel lima persen saja negara dapat menghemat solar sebanyak 1,25
juta kiloliter per tahun. Apalagi jika biodiesel yang digunakan 30
persen.
Pada dasarnya, biodiesel mampu menggantikan solar 100 persen tanpa
harus memodifikasi mesin diesel. Hal ini karena sifat biodiesel sendiri
yang hampir sama dengan solar, baik kekentalan, berat jenis, bilangan
asam, kadar air maupun angka centananya sehingga tidak merusak mesin.
Pada pembuatan biodiesel, sebelum bahan baku (trigliserida)
ditransesterifikasi dilakukan beberapa tahap pemurnian (refining). Tahap
ini dimaksudkan untuk menghilangkan berbagai bahan yang tidak
diinginkan seperti fosfatida, asam lemak bebas, lilin, tokoferol, zat
warna dan zat pengotor lainnya yang dapat memperlambat reaksi. Tahap
pemurnian ini terdiri atas proses degumming, netralisasi, pemucatan
(bleaching) dan deodorasasi.
Proses degumming dimaksudkan untuk menghilangkan getah atau lendir
yang terdiri atas fostatida, protein, residu, karbohidrat dan air tetapi
tidak dapat mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Fostatida
pada minyak kelapa sawit (CPO) sebesar 0,60 persen. Fosfatida akan
membuat minyak menjadi gelap (turbid) selama penyimpanan dan
mengakibatkan berkumpulnya air pada produk ester. Biasanya pemisahan ini
dilakukan dengan menambah air pada suhu 60-90 derajat Celsius dan
diikuti sentrifugasi (pemusingan), kemudian ditambahkan larutan asam
seperti asam fospat.
Deasidifikasi dilakukan untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak
atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa
sehingga membentuk sabun. Proses ini dimaksudkan untuk mencagah bau
tengik pada produk.
Pemucatan (bleaching) dan deodorisasi untuk menghilangkan zat warna
dan bahan berbau dari bahan berlemak. Pemucatan dilakukan dengan
mencampurkan minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah
pemucat (bleaching earth), bentonit, lempung aktif, arang aktif atau
dapat juga menggunakan bahan kimia. Pemucatan ini merupakan cara
konvensional dan proses pemurnian secara fisik. Pada proses pemucatan
menggunakan adsorben, akan menyerap zat warna dari senyawa karoten,
karotenoid, xantrofil dan klorofil.
Selain itu, pemucatan dapat mengurangi zat pengotor baik yang berasal
dari minyak itu sendiri seperti protein, sterol, tokoferol,
hidrokarbon, asam lemak bebas, peroksida dan sebagainya maupun zat
pengotor akibat dari proses ekstraksi minyak dari tumbuhan. Pemucatan
yang sering digunakan adalah gabungan dua adsorben seperti arang aktif
dan bentonit dengan perbandingan 1:0 sampai 1:20. Sedangkan untuk proses
penghilangan bau atau deodorisasi dapat dilakukan dengan cara distilasi
uap.
Setelah pemurnian, bahan baku (trigliserida) dapat langsung diproses
menjadi biodiesel. Diharapkan dapat menghasilkan produk biodiesel yang
ramah lingkungan. (yudhistira_chemist3@yahoo.com)